Saat ini, hijab / jilbab Syar’i sudah bergeser menjadi merk dagang atau sebatas model saja. Apa yang agama anjurkan untuk wanita pakai tidaklah terbatas dengan gaya, aksen, tipe apalagi merk.
Kita menyadari bahwa fashion tidaklah milik agama tertentu sehingga setiap daerah, negara suku, budaya maupun agama memiliki gaya berpakaian sendiri-sendiri, terutama dalam berhijab. Jadi sudah seharusnya apapun model dan tipe jilbab yang kita pakai boleh-boleh saja asal juga mempertimbangkan aspek yang telah digariskan oleh syariat. Berikut pertanyaan dari saudari muslimah kita mengenai aturan memakai hijab yang “ syar’i شرعي ”
Assalamu alaikum wr. wb. Saya ingin bertanya hijab syar'i itu seperti apa. Saya mengikuti dua lembaga Islam. Yang membuat saya pusing cara berhijab'nya beda-beda. Lembaga A berhijab memakai pakaian terusan (gamis) nah gamis itu yang disebutnya jilbab, sedangkan lembaga B berpakaian serba gelap dan khimar'nya panjang sampai paha dan disertai dengan rok.
Yang saya ingin tanyakan, berdosakah seseorang bila memakai pakaian potongan (rok+baju) karena lembaga A memandang semua yang pakai berpotongan itu berdosa dan mengatakan jilbab itu adalah baju terusan yang tidak berpotongan. Mohon jawabannya bila perlu apakah ada dalil yang membolehkan potongan?
Wa'aaikum salam warahmahtullahhi wabarakatuh,
Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah swt. Pada dasarnya Islam tidak menentukan model pakaian tertenu bagi perempuan. Sepanjang pakaian tersebut bisa menutupi aurat dan bisa menghindari fitnah maka tidak ada persoalan. Para ulama hanya memberikan syarat-syarat tertentu bagi pakaian perempuan. Ringkasanya, disyaratkan pakaian yang tidak menunjukkan auratnya, tidak tembus pandang, tidak menggambarkan lekuk tubuhnya, dan tidak menarik perhatian. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Syeikh Ahmad Mutawwali asy-Sya’rawi:
ُوَشُرِطَ فِي لِبَاسِ الْمَرْأَةِ الشَّرْعِيِّ أَلاَّ يَكُونَ كَاشِفاً، وَلَا وَاصِفاً، ولا مُلْفِتاً لِلنَّظَرِ
“Disyaratkan dalam pakaian perempuan yang syar’i, pakaian tersebut tidak memperlihatkan uaratnya, tidak menggambarkan lekuk tubuh, dan tidak menarik perhatian” (Syekh Ahmad Mutawwali asy-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, Mesir-Mathabi’u Akhbar al-Yaum, 1997, juz, 19, h. 12168).
Dengan demikian sepanjang rok dan baju tersebut memenuhi syarat-syarat di atas maka tidak ada persoalan. Sedang mengenai jilbab diartikan dengan hanya baju terusan atau gamis, kami menghargai pandangan tersebut. Sebab, faktanya para ulama berbeda pendapat mengenai makna jilbab. Namun menurut Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, bahwa makna jilbab yang benar adalah sebagai berikut:
اَلْجِلْبَابُ بِكَسْر الْجِيمِ هُوَ الْمُلَاءَةُ الَّتِي تَلْتَحِفُ بهَا الْمَرْأَة فَوق ثِيَابهَا هَذَا هُوَ الصَّحِيح فِي مَعْنَاهُ
“Kata jilbab—dengan diberi harakat kasrah pada huruf jim—adalah mula`ah (kain panjang yang tidak berjahit) yang digunakan perempuan untuk berselimut (menutupi) di atas baju yang kenakannya. Ini adalah makna jilbab yang benar. (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, Tahriru Alfazh at-Tanbih, Damaskus-Dar al-Qalam, cet ke-1, 1408 H, h. 57)
Dari makna jilbab yang dikemukakan di atas, maka jilbab bisa diartikan dengan kain yang lebar yang dikenakan perempuan untuk melapisi pakaian yang sudah dikenakannya.
Mari kita saling menghormati dan menghargai pandangan setiap orang, dan jangan jadikan perbedaan sebagai sumber perpecahan. Sebab perbedaan adalah rahmat yang harus kita syukuri. Kesimpulannya, kita tidak bias membenarkan model berpakaian orang lain, karena sekali lagi, fashion itu dinamis dan sangat luas. Yang dapat kita sarankan adalah aturan memakainya yang benar-benar menutup aurat pemakai dan juga menutup bentuk-liuk tubuhnya.
Wallahu A’lam
Wallahu A’lam
0 komentar: