Perceraian adalah sesuatu halal yang paling dibenci oleh Allah SWT, namun tentu tidak mudah apabila memutuskan perceraian karena pasangan yang tidak taat. Bolehkah istri yang merasa suaminya tidak taat beribadah menggugat cerai? Berikut Penjelasannya.
Saya mau bertanya. Saya sudah menikah 4 tahun. Kami berkenalan 1 minggu langsung menikah dan pacaran setelah menikah. tapi satu hal yang paling membuat saya kaget ternyata dia tidak taat beribadah. Saya pikir di sini saya yang harus membimbing suami dengan cara mencontohkannya, mengingatkannya bahkan dengan sabar menyuruhnya supaya shalat. Tapi suami punya seribu alasan; capek, pusing, ngantuk, kadang kalau marah dia bilang asal cari uang dan kebutuhan saya terpenuhi sudah cukup katanya. Saya pikir saya bukan menyerah tapi saya tidak bisa meneruskan pernikahan ini karena saya pikir saya tidak ingin punya suami yg menganggap remeh اَللّهُ penciptanya. Tidak hanya itu dia sering berdusta dan menyebarkan aib saya kepada teman-teman saya, teman-teman dia dan keluarga papa saya. Dan hubungan dia dengan ortu saya tidak baik. Dia selalu membenci orang tua saya yang selalu membantu masalah perekonomian kami. Yang mau saya tanyakan, betulkah keputusan saya menggugat cerai suami karena alasan suami tidak taat kepada اَللّهُ dan tidak taat beribadah? Terima kasih
Ibu penanya yang budiman, semoga selalu dalam bimbingan Allah swt. Bahwa perceraian adalah hal yang sangat dibenci oleh Allah, meskipun itu adalah diperbolehkan. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dikatakan demikian:
أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللهِ الطَّلَاقُ رواه أبو داود وابن ماجه
“Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak” (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Adapun dengan kasus yang ibu tanyakan, maka sebelum kami menjawab pertanyaan tersebut kami akan mengetengahkan secara singkat mengenai khul’u خلع . Khul`u sebagaimana dikatakan oleh Imam an-Nawawi adalah:
اَلْفُرْقَةُ بِعَوضٍ يَأْخُذُهُ الزَّوْجُ (محي الدين شرف النووي، روضة الطالبين وعمدة المفتين، بيروت-المكتب الإسلامي، ج، 7، ص. 347
“Khul`u adalah percerain dengan ‘iwadl (pengganti atau tebusan) yang diambil oleh suami”. (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, Raudlatuth Thalibin wa ‘Umdatul Muftin, Bairut-Darul Fikr, tt, juz, VII, h. 347)
Maksud dari pernyataan ini adalah perceraian dengan tebusan dari pihak istri yang diberikan kepada sang suami. Dengan kata lain seorang istri menggugat cerai suaminya dengan memberikan tebusan kepadanya (suami) agar ia bisa lepas dari ikatan perkawinan.
Khul`u ada dua katergori, yaitu
- Khul`u yang didasari alasan, dan
- Khul'u yang tidak didasari alasan.
فَأَمَّا الْكَرَاهَةُ فَهُوَ أَنْ تَكْرَهَ مِنْهُ إِمَّا سُوءَ خُلُقِهِ ، وَإِمَّا سُوءَ فِعْلِهِ وَإِمَّا قِلَّةَ دِينِهِ وَإِمَّا قُبْحَ مَنْظَرِهِ وَهُوَ مُقِيمٌ بِحَقِّهَا. (الماوردي، الحاوي الكبير، بيروت-دار الكتب العلمية، 1414هـ/1994م، ج، 10، ص. 5)
“Adapun ketidaksukaan yaitu ketidaksukaan istri terhaap suami, yang bisa jadi karena kejelekan akhlak dan tindakan suami, atau bisa jadi kurangnya ketaatan terhadap agamnya atau karena penampilannya tidak sedap dipandang, kedatipun ia (suami) telah memenuhi haknya (istri)”. (Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Bairut-Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1414 H/1994 H, juz, X, h. 5)
Jika penjelasan ini ditarik ke dalam kasus ibu, dimana ibu menggugat cerai suami dengan alasan sebagaimana dikemukakan di atas, maka gugatan cerai tersebut diperbolehkan (mubah). Dan keputusan ibu menggugat cerai adalah sebuah keputusan yang bisa dibenarkan.
Namun kendatipun demikian, menghindari perceraian adalah yang terbaik. Karenanya, kami sarankan kepada ibu untuk memikirkan kembali gugatan cerai tersebut secara masak-masak. Cobalah berdiskusi dengan suami dan menasehatinya dengan cara yang santun sehingga tidak menyinggung perasaannya. Terakhir berdoa sebanyak-banyaknya agar semua masalah bisa dapat diselesaikan dengan baik. Semoga ibu diberikan kesabaran dan selalu mendapat bimbingan-Nya sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik.
0 komentar: